Rabu, 09 Januari 2013

Museum Fatahillah



Museum yang pernah saya kunjungi adalah Museum Fatahillah yang terletak di DKI Jakarta. Museum ini memiliki banyak nama, yakni Museum Batavia dan Museum Sejarah Jakarta. Terletak di Jalan Taman Fatahillah nomer dua Jakarta Utara, gedung ini awalnya di Bandung sebagai sebuah balai kota atau stadhuis. Pembangunan gedung ini memakan waktu tiga tahun, yakni pada tahun 1707-1710. Bangunan indah ini dibangun berdasarkan perintah seorang Gubernur Jendral Belanda, Johan van Hoorn.
Balaikota ini terdiri dari sebuah bangunan utama dengan dua buah bangunan sayap sisi barat dan timurnya. Bangunan ini difungsikan sebagai kantor dan ruang pengadilan. Bangunan ini juga dilengkapi ruang bawah tanah yang merupakan penjara zaman Belanda. Baru pada tahun 1974, pemerintah Indonesia meresmikan bangunan ini sebagai museum.
Bangunan megah seluas 1.300 m2 ini terdiri dari tiga lantai. Dindingnya diwarnai dengan cat bewarna kuning tanah. Jendela serta pintunya terbuat dari kayu jati dan bewarna hijau tua. Sebuah penunjuk arah mata angin bertengger manis di bagian atap utamanya. Di sisi bangunan, terdapat kolam dan beberapa pohon tua disekelilingnya. Dari segi arsitektur, museum ini sangat mencerminkan gaya arsitektur Belanda di abad ke-17. Konon, gedung ini memang dibangun dengan desain menyerupai Istana Dam di Amsterdam, Belanda sana.
Sejarah Pendirian dan Penggunaaan Museum Fatahillah
Bangunan megah peninggalan Belanda ini, seperti telah disebutkan sebelumnya, merupakan gedung balai kota. Balai kota ini dibangun untuk menggantikan balai kota pertama yang dibangun di kawasan Kalibesar Timur pada tahun 1620. Di awal pembangunan, gedung ini hanya memeliki satu tingkat. Tingkat kedua baru dibangun beberapa waktu kemudian.
Beberapa puluh tahun kemudian, kondisi bangunan balai kota ini mulai memburuk. Tanah Jakarta yang labil dan bangunan yang terlampau berat menyebabkan bangunan mulai tenggelam dari permukaan tanah. Renovasi demi renovasi pun mulai dilakukan. Pemerintah Hindia Belanda saat itu memikirkan sebuah solusi mudah dan praktis tanpa harus mengubah  fondasi bangunan. Maka lantai bangunan ditinggikan setinggi 56 cm.
Beberapa kali gedung ini direnovasi, diperlebar, diperluas. Penambahan ruangan beberapa kali dilakukan dan penjara berkali-kali diperbaiki. Bentuk museum yang kita lihat sekarang ini merupakan bentuk akhir dari beberapa renovasi yang telah dilakukan. Yang menarik dari bangunan inia dalah penjara bawah tanahnya. Konon, di ruangan bawah tanah terdapat setidaknya 5 buah sel tahanan seluas 4 x 4 meter dengan tinggi hanya 1 meter. Ini menurunkan kesehatan mereka, belum lagi di dalam sel tidak terdapat tempat buang air. Alhasil, sebagian besar tahanan meninggal dunia akibat terserang penyakit.
Gedung balai kota ini dilengkapi sebuah lapangan luas yang dinamai “stadhuisplen”. Konon di tengah lapangan terdapat sebuah air mancur. Air mancur tersebut adalah satu-satunya sumber air bagi masyarakat yang tinggal di daerah situ. Saat pembangunan, sebuah penggalian dilakukan untuk membuat sumur tersebut dan para arsitek Belanda berusaha mengalirkan air dari Pancoran Glodok menggunakan pipa. Air mancur tersebut kemudian hancur. Baru pada tahun 1972 pemerintah Jakarta menggali dan menemukan pipa saluran air. Lantas dibuatlah air mancur yang mirip dengan air mancur zaman dahulu ditengah-tengah lapangan. Lapangan  tersebut beralih nama menjadi Taman Fatahillah.
Sebelum menjadi museum, gedung yang dahulu dibuat untuk menjadi balai kota ini sempat beberapa kali beralih fungsi. Di antaranya adalah sebagai gedung pengadilan. Di tahun 1925-1942, gedung ini dijadikan kantor pemerintah provinsi Jawa Barat. Kemudian gedung ini diambil alih oleh Jepang dan dijadikan kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Pasca-kemerdekaan, gedung ini sempat dijadikan markas Komando Militer Kota (KMK) di tahun 1952 setelah itu barulah gedung ini kembali ke tangan pemerintah Jakarta dan olehnya gedung ini direnovasi dan dijadikan museum bersejarah.

Koleksi Museum Fatahillah
          Setelah berubah fungsi menjadi museum, gedung ini dipenuhi berbagai koleksi benda bersejarah; terutama benda=benda peninggalan yang terkait dengan sejarah Jakarta. Nama “Fatahillah” sendiri diambil dari anam seorang pejuang pendirian kota Jakarta. Ia berperan dalam mengusir Portugis dari tanah Sunda Kelapa.
            Selain arsitektur bangunan yang indah dan klasik, museum fatahillah juga memiliki beberapa koleksi menarik lainnya seperti keramik dan mebel antik mulai dari abad 17 sampai 19. Bagi Anda yang sangat berminat dengan desain interior mengunjungi museum ini akan memberikan kesan tersendiri dengan melihat desian-desain di era abad ke 17. Desain interior tersebut berupa perpaduan indah antara kebudayaan Eropa, Cina, dan Batavia.
            Di museum bersejarah ini, kita juga bisa melihat perjalanan sejarah Jakarta yang dulu disebut dengan nama Batavia, kemudian replika peninggalan masa Pajajaran dan Tarumanegara yang terpajang di ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Jayakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Sultan Agung, Ruang Fatahillah dan Ruang MH.Thamrin. Kita juga bisa menelusuri koleksi kebudayaan Betawi dan sejarah becak dari masa ke masa.
            Jika ingin melihat seperti apa bentuk penjara bawah tanah yang ada saat zaman penjajahan Belanda, Kita bisa menemukannya di Museum Fatahillah, beserta meriam si Jagur yang terkenal itu dan ada juga patung Dewa Hermes. Dewa Hermes adalah Dewa perlindungan dan keberuntungan bagi kaum pedagang.
            Museum Fatahillah juga memiliki beberapa program menarik lainnya seperti kegiatan Batavia Art Festival yang diadakan setiap bulan Juni dalam rangka HUT kota Jakarta. Selain itu, ada berbagai festival budaya yang sering dilakukan juga di museum ini. Jadi sangat sayang jika kita tidak menyempatkan waktu liburan kita mengunjungi museum fatahillah di Jakarta Barat ini. Museum Fatahillah memiliki koleksi artefak 100.000, dengan skitar 26.000 item. Benda beseharah di musem Fatahillah ini adalah penginggalan zaman Belanda, baik yang berasal dari sumbangan/hibah pecinta benda kuno atau juga yang diperoleh dengan cara pembelian. Sumbangan/hibah itu biasanya dari warga Belanda yang pernah tinggal di Indonesia, atau leluhur mereka pernah menetap di sini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar